Filosofi Lubang Pantat (Lubang Burit)
“Menurut kalian, apa bagian tubuh
yang seharusnya menjadi pemimpin?”. Tanya Mr. Abdul pada suatu siang di kelas Confidence
sebagai pembuka. Kemudian beliau menunjuk kami satu persatu.
“Otak, mulut, mata, telinga, hati”.
Dan jawaban kami, yang berjumlah 21 orang, hanya berkisar pada lima pilihan
tersebut.
“Otak bisa saja menipu. Mata bisa
saja buta. Telinga bisa saja tuli. Mulut bisa saja berdusta dan hati bisa saja
tak adil. Ketika salah satu diantaranya, misalnya otak, mengalami kerusakan,
kaki masih bisa berjalan. Atau mata yang menjadi buta, kita masih bisa menerima
informasi melalui pendengaran. Jawaban kalian masih salah”. Tantang Mr. Abdul
membantah jawaban – jawaban sembari memandangi kami satu persatu dengan mata
yang menyala dan mulut yang agak dimonyongkan yang memang menjadi ciri khas
beliau ketika mengajar.
Semua jawaban itu salah. Padahal
selama ini jika berhubungan dengan kepemimpinan, otaklah yang menjadi raja yang
mengatur seluruh rakyat – rakyat di negara yang bernama tubuh. Otak adalah
bagian dalam diri manusia yang difungsikan untuk berfikir, memberi perintah dan
memutuskan sebuah proses. Jika otak saja dianggap salah, maka bagian tubuh apa
yang menjadi pemimpin?.
Mr. Abdul tersenyum melihat kami
kebingungan dan ia memutar badannya menghadap ke papan tulis. Tangannya yang
menggenggam spidol mulai menari – nari menuliskan sesuatu di papan tulis.
“ASSHOLE”
“Lubang pantat?”
“Apa ia sedang bercanda?”
Seketika seperti petir yang
menyambar di pohon, kata itu menjadi tanda tanya. Apa hubungan antara
kepemimpinan dengan lubang pantat? Oh. Pasti Mr. Abdul sedang bercanda (karena
sudah menjadi ciri khas beliau memplesetkan kata – kata. Semisal “Relationship”
diubah menjadi “Relationshit”).
“Jika saya bilang bahwa lubang
pantat adalah bagian tubuh yang menjadi pemimpin, kalian setuju atau tidak?”.
Mr. Abdul membuka kembali percakapan. Mungkin beliau melihat di wajah kami
sedang diliputi tanda tanya untuk sebuah kata yang bernama lubang pantat. Dan
kata semakin menjadi – jadi bermain di kepala, berlarian kesana kemari untuk
ditangkap bagai kanak – kanak yang menemukan mainannya.
“Coba bayangkan jika pada suatu
ketika lubang pantat itu ngambek. Bayangkan. Otak kalian akan sulit bekerja.
Sepintar apapun, jika lubang pantat ngambek, otak gak akan maksimal. Mulut akan
selalu berkomat – kamit mengeluh, mata yang mengeluarkan air – air beningnya
dan telinga yang tak peduli lagi dengan suara – suara di sekitar”.
“Lubang pantat tak pernah berbuat
jahat. Lubang pantat tak pernah menipu orang. Ia tak pernah berbohong. Ia tak
pernah melukai perasaan. ia apa adanya. Namun sekali saja ia ngambek, tak mau
melakukan kewajibannya, kalang kabutlah otak, mata, mulut dan lain – lain”. Begitulah
penjelasan awal beliau tentang kepemimpinan lubang pantat. Sebuah awal kelas
yang menarik. Menyedot perhatian siswa – siswa seketika dengan memberikan
pertanyaan sekaligus jawaban yang mengejutkan. Jangan bayangkan ini adalah
sebuah kelas filsafat. Ini sebuah kelas Bahasa Inggris.
Lubang pantat, iya, lubang pantat.
Tak pernah aku memikirkan sebuah cakrawala baru tentang sebuah konsep
kepemimpinan. Selama ini pemimpin adalah sebuah konsep yang berhubungan dengan
kecerdasan, kejujuran dan keadilan. Bisa saja itu semua adalah kepalsuan
seperti yang Mr. Abdul coba buka kepada kami, saya khususnya, tentang
kepemimpinan.
Semenjak beratus – ratus tahun yang
lalu manusia memperbincangkan tentang kepemimpinan. Tercatat sejak 500 SM,
orang – orang mesir mulai menuliskan konsep – konsep kepemimpinan dalam
Hieroglyph. Telah berpuluh – puluh buku pula yang memberikan pemahaman tentang
kepemimpinan yang telah saya baca. Namun semuanya pada umumnya sama. Berkisar
pada sebuah power dan process.
Namun, Mr. Abdul telah membuka
jendela pemikiran pada satu pemahaman yang baru. Sebuah konsep kepemimpinan
yang lahir dari sebuah kesederhanaan dan ketulusan. Lubang pantat tak pernah
macam – macam. Ia tak seperti otak yang harus disuplai hal – hal yang bersifat
informatif untuk dijadikan bahan analisis. Ia tak seperti mata yang membutuhkan
beberapa detik untuk tutup – buka guna menjaga kebersihan. Lubang pantat itu
sederhana. Tak pernah macam – macam. Satu – satunya yang kita peduli dari
lubang pantat adalah hanya saat buang air besar. Satu – satunya aktivitas yang
bersentuhan dengannya. Tapi apakah lubang pantat tak pernah menuntut lebih? Tak
pernah. Kita membersihkannya pun hanya demi kenyamanan.
Pemimpin itu seharusnya seperti itu.
Ia selalu ikhlas ditemui hanya saat ketika masalah datang, setelah masalah itu
selesai, ketika kenyamanan itu telah diperoleh kembali, maka ia langsung
dilupakan. Tapi ia tak menuntut untuk diperhatikan. Kemudian salah satu konsep
ketulusan pun menjadi ajarannya. Ia selalu siap sedia ketika ada yang
membutuhkannya. Lubang pantat akan selalu terbuka ketika perut hendak membuang
ampasnya. Lubang pantat pun akan selalu terbuka pada hal – hal yang kecil
seperti angin kentut. Semua dilayaninya dengan sama derajatnya. Tanpa membeda-bedakan.
Apakah itu yang hadir adalah sebuah ampas perut berukuran besar atau hanya
sekedar angin kecil belaka.
Namun, ketika lubang pantat marah.
Maka seluruh bagian tubuh akan terkena imbasnya. Pemimpin yang tulus dan
sederhana kemudian menjadi marah adalah sebuah peringatan besar bagi
bawahannya. Pasti ada yang salah dan harus segera diperbaiki sebelum seluruh
komponen dalam organisasinya menjadi hancur. Kemaslahatan saat itu hanya
bergantung pada kebijakan sang pemimpin.
Rohadi dalam buku “Leadership”nya
mengatakan bahwa pemimpin sejati itu akan menjadi risih jika dirinya menjadi
jauh lebih sejahtera dari yang lainnya. Hal ini senada dengan lubang pantat.
Pernahkah terbersit pemikiran untuk memberikan tindik emas di lubang pantat?
Pernahkah timbul pemikiran untuk merebonding rambut – rambut di sekitar lubang
pantat?. Tidak. Lubang pantat tak pernah lebih sejahtera dibandingkan mata,
mulut dan lain – lain. Jika otak sering diberi penghargaan atau hati yang kerap
memperoleh kasih sayang, apakah lubang pantat pernah memperolehnya?. Adakah
nominasi lubang pantat terbaik?. Sejauh nafas saya berhembus sejak lahir hingga
saat ini, tak pernah satupun hal yang demikian.
Maka, tepatlah yang dikatakan oleh
Mr. Abdul tentang kepemimpinan. Dan saya sangat bersyukur beliau telah membuka
cakrawala pemikiran ini dengan sesuatu yang baru. Seperti matahari yang muncul
ke bumi kemudian menyinarinya dengan ilmu pengetahuan. Suatu hal yang tak
terduga yang justru muncul dari kelas yang tak ada hubungannya dengan kepemimpinan.
Benar apa yang dikatakan oleh orang – orang bijak. Ilmu itu tidak ada
hubungannya dengan tempat. Sebab semua tempat adalah sekolah yang berguna yang
melahirkan ilmu – ilmu tak terbatas jumlahnya. Ketika kita mau berfikir. Terima
kasih Mr. Abdul untuk filosofinya.
0 komentar